Isnin, 7 Februari 2011

Politik Islam dan Politik Jahiliyyah

Dalam buku Fiq Politik Menurut Imam Hasan Al-Banna, Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris menulis: ”Politik itu terbagi dua: politik syar’i (politik Islam) dan politik non syar’i (politik non Islam). Politik syar’i bererti upaya membawa semua manusia kepada pandangan syar’i dan khilafah (sistem pemerintahan Islam) yang berfungsi untuk menjaga agama (Islam) dan urusan dunia. Adapun politik non syar’i atau politik versi manusia adalah politik yang membawa orang kepada pandangan manusia yang diterjemahkan ke undang-undang ciptaan manusia dan hukum lainnya sebagai pengganti bagi syari’at Islam dan bisa saja bertentangan dengan Islam. Politik seperti ini menolak politik syar’i kerena merupakan politik yang tidak memiliki agama. Sedangkan politik yang tidak memiliki agama adalah politik jahiliyah.”


Semenjak tahun 1924 ummat Islam tidak lagi hidup di bawah naungan sistem Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bahkan di berbagai penjuru dunia Islam dideklarasikan berdirinya negara-negara dengan konsep nation-state(negara-kebangsaan). Mulailah kaum muslimin mengekor kepada negara-negara kafir yang mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan keanekaragaman suku dan bangsa. Sebelumnya ketika Khilafah Islamiyyah masih tegak ummat Islam hanya memahami manusia berdasarkan pembagian yang Allah gambarkan di dalam Al-Qur’an, iaitu manusia beriman (Al-Mu’minun) dan manusia kafir (Al-Kafirun).


Ketika Khilafah masih tegak ummat Islam tidak mengenal adanya pemisahan antara urusan agama dengan berbagai urusan kehidupan sehari-hari, termasuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tidak ada pemisahan antara kehidupan beragama dalam tataran kehidupan individual mahupun sosial. Namun semenjak faham negara-aqidah dihapuskan lalu diganti dengan ideologi nasionalisme mulailah kaum muslimin mengalami pergeseran tolok ukur. Aqidah Islam yang sebelumnya dijadikan sebagai perekat utama masyarakat dilokalisir menjadi sebatas keyakinan individual muslim. Sedangkan masyarakat diarahkan untuk menjadikan etnisitas kebangsaan sebagai perekat kehidupan sosial. Seolah2 agama hanya berlaku dalam tataran pribadi, sedangkan dalam tataran sosial agama harus disampingkan. Kemudian muncullah ajaran primordial kebangsaan yang menggantikan agama sebagai identitas dan perekat sosial.


Dalam buku Petunjuk Jalan bab Tumbuhnya Masyarakat Islam dan Ciri Khasnya, Sayyid Qutb menulis: ”Sesungguhnya dakwah Islam yang dibawa Nabi Muhammadshollallahu ’alaih wa sallam merupakan mata rantai terakhir dari rangkaian dakwah dan seruan ke jalan Islam yang telah berjalan lama di bawah pimpinan para Rasul dan utusan-utusan Allah yang mulia. Dakwah ini di sepanjang sejarah wujud manusia mempunyai sasaran dan tujuan yang satu. Yaitu,membimbing manusia untuk mengenal Ilah mereka yang Maha Esa dan Yang Maha Benar, agar mereka menyembah dan mengabdi hanya kepada Ilah Yang Maha Esa dan mengubur segala penuhanan terhadap sesama makhluk.


Seluruh umat manusia kecuali segelintir orang saja, tidak ingkar dengan dasar ketuhanan dan tidak menafikan wujudnya Tuhan; tetapi mereka salah pilih dalam hal mengenal hakikat Tuhan yang benar. Mereka menyekutukan Tuhan yang benar dengan tuhan-tuhan yang lain. Bisa dalam bentuk ibadat dan akidah, atau pun dalam bentuk ketaatan di bidang pemerintahan dan kekuasaan.


Dua bentuk itu adalah SYIRIK yang boleh menyebabkan manusia keluar dari agama Allah. Padahal para Rasul sudah mengenalkan Allah swt. kepada mereka. Tapi, mereka mengingkariNya setelah berlalu beberapa masa dan generasi. Mereka pun kembali ke alam jahiliyah, kemudian kembali mensyirikkan Allah, baik dalam bentuk akidah dan ibadat, atau dalam bentuk ketaatan di bidang pemerintahan, atau pun di dalam dua bentuk itu sekaligus.


Inilah dia tabiat dakwah ke jalan Allah di sepanjang sejarah umat manusia. Ia mempunyai tujuan dan sasaran yang satu yaitu “ISLAM (MENYERAH)” di dalam pengertian penyerahan diri sepenuhnya, penyerahan diri dan kepatuhan para hamba kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam, menarik umat manusia keluar dari mengabdikan diri kepada sesama hamba Allah, kepada suasana menyembah dan mengabdikan diri kepada Allah SWT, membawa mereka keluar dari sikap patuh dan tunduk kepada sesama hamba Allah di dalam urusan peraturan hidup dan pemerintahan, nilai-nilai dan kebudayaan, untuk bersikap patuh dan tunduk kepada kekuasaan pemerintahan dan peraturan Allah saja di dalam semua urusan hidup.”


Untuk inilah Islam datang melalui Nabi Muhammadshollallahu ’alaih wa sallamsebagaimana ia datang melalui para Rasul sebelum beliau. Ia datang untuk membawa umat manusia patuh kepada kekuasaan dan pemerintahan Allah seperti seluruh alam ini berjalan mengikuti landasan peraturan Allah.”


Sebuah masyarakat Islam berbeza samasekali dari masyarakat Jahiliyyah. Masyarakat Islam berdiri di atas fondasi aqidah La Ilaha Illa Allah, keyakinan bahwa hanya Allah sajalah satu-satunya tempat memuja, memuji, memohon pertolongan, menyerahkan kepatuhan dan ketaatan. Penghambaan kepada Allah bukan tercermin dalam urusan ibadah ritual-formal belaka. Tetapi ia juga tercermin dalam aspek nilai-nilai moral serta hukum-hukum pribadi mahupun sosial yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari.


Sedangkan sebuah masyarakat Jahiliyyah berdiri di atas fondasi bahwa sesama manusia boleh dipuji, dipuja, dimintai pertolongannya, diserahkan kepatuhan dan kesetiaan kepadanya. Oleh kerana di dalam masyarakat seperti ini akan selalu hadir para thaghut, iaitu pihak yang sedikit saja memperoleh kekuasaan lalu berlaku melampaui batas sehingga menuntut ketaatan dari para rakyatnya, pengikutnya, muridnya, bawahannya. Dalam sejarah kemanusiaan Allah abadikan di dalam AlQur’an gambaran thaghut paling ideal iaitu Fir’aun. Fir’aun yang sombong sehingga sampai hati memgelarkan dirinya di hadapan rakyat Mesir yang ia pimpin dengan kalimat: ”Akulah tuhan kalian yang Maha Mulia.”

Tetapi Fir'aun mendustakan dan mendurhakai. Kemudian dia berpaling seraya berusaha menantang (Musa). Maka dia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya. berkata: "Akulah tuhanmu yang paling tinggi". (QS AnNaziat ayat 21-24)


Itulah sebabnya mengapa segenap para Nabi dan Rasul utusan Allah menyampaikan suatu seruan universal yang berlaku sepanjang zaman. Iaitu seruan kepada umatnya masing-masing agar menyembah Allah semata dan menjauhkan diri dari para thaghut.

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu.” (QS An-Nahl ayat 36)


Politik Islam adalah politik syar’i. Ia merupakan politik yang berlandaskan konsepsi mendasar aqidah Islamiyyah, yaitu La Ilaha Illa Allah, keyakinan bahwa hanya Allah sajalah satu-satunya tempat memuja, memuji, memohon pertolongan, menyerahkan kepatuhan dan kesetiaan. Politik Islam pasti akan menghantarkan masyarakat untuk membentuk diri menjadi masyarakat Islam. Sedangkan politik jahiliyyah merupakan politik yang tidak syar’i. Politik jahiliyyah akan menghasilkan tumbuhnya sebuah masyarakat jahiliyyah lengkap dengan suburnya eksistensi para thaghut di dalamnya. Politik seperti ini akan menyebabkan manusia sedar tidak sedar menghamba kepada sesama manusia.


Mengomentari kondisi realita umat Islam dewasa ini tidak lagi hidup di bawah naungan sistem Khilafah Islamiyyah yang telah runtuh 85 tahun yang lalu, maka Said Hawwa dalam kitabnya Jundullah menulis: ”Akibatnya, hilanglah Islam dari kehidupan manusia secara hampir sempurna. Hilanglah sistem politiknya, dan hilanglah konsepnya dari umat, untuk digantikan dengan konsep nasionalisme. Konsepnya hilang dari negara, untuk digantikan dengan konsep lain. Juga hilang dari ruang pengadilan, untuk digantikan yang lain. Syariatnya hilang digantikan dengan perundangan lain. Konsepnya hilang dari ruang-ruang permusyawaratan, untuk digantikan konsep demokrasi Timur atau Barat. Konsepnya hilang dari kekuasaan eksekutif untuk digantikan dengan konsep jahiliah secara total. Konsepnya hilang dari parti-parti yang Rabbani untuk digantikan oleh sistem kepartian jahiliah.”


Saudaraku, marilah dengan penuh kesabaran kita meniti kembali jalan perjuangan Nabi shollallahu ’alaih wa sallamdan para sahabat ketika mereka masih tertindas di kota Mekkah sebelum hijrah ke Madinah. Marilah kita pelajari kembali bagaimana Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat berjuang tanpa sedikit pun berfikir untuk bertolakansur dengan sistem jahiliyyah dan para thaghutnya ketika mereka masih lemah sekalipun. Sebab mereka hanya punya satu cita-cita, iaitu mengembalikan hati manusia ke dalam pangkuan aqidah kalimat tauhid dimana manusia diajak untuk hanya menghamba kepada Allah dan tunduk kepada syariatNya. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat tidak pernah sejenak pun bertoleransi dengan aqidah kemusyrikan dan tunduk kepada sistem jahiliyyah yang berlaku, betapapun risikonya mereka terpaksa mengalami berbagai ujian, tekanan, penyeksaan, penindasan bahkan pembunuhan.


Saudaraku, bagaimanapun kita perlu memahami bahwa Politik Islam tidaklah sama dengan Politik Jahiliyyah. Berbeza satu sama lain dalam hal landasan keyakinannya, semangatnya, fikrah-ideologinya, sistem pembentukannya, budayanya, tingkah-laku para pelakunya. Yang jelas, keduanya sangat berbeza secara fundamental dalam hal siapa yang dijadikan pusat kesetiaan, penghambaan dan ketergantungan. Politik Islam sejak hari pertama telah memproklamirkan dirinya sebagai sebuah mega-proyek untuk pembebasan manusia dari penghambaan sesama manusia untuk hanya menghamba kepada Allah semata. Sedangkan Politik Jahiliyyah menjadikan sesama manusia sebagai tempat menyerahkan kesetiaan, ketaatan dan ketergantungan sehingga suburlah di dalamnya para thaghut...!!


Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami bahwa yang benar itu adalah benar dan berilah kami kekuatan untuk mengikutinya. Dan tunjukkanlah kepada kami bahwa yang batil itu adalah batil dan berilah kami kekuatan untuk menjauhinya. Amin.



sumber : eramuslim

Tiada ulasan:

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails